Pelajaran dari Pilkada DKI Jakarta 2017: Mengapa Ahok Kalah?



Hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta 2017 telah sampai pada titik akhir, di mana Ahok telah dikalahkan pada tanggal 19 April itu. Maka Jakarta pun dipastikan punya gubernur baru. Bagaimana Ahok bisa kalah sementara di awal-awal pencalonannya, berdasarkan hasil penelitian beberapa lembaga survey tingkat elektabilitas dan popularitas Ahok untuk bisa menang cukup tinggi dan akan sulit bagi calon-calon lain untuk mengalahkannya. Di bawah ini adalah beberapa hal yang bisa diambil sebagai pelajaran bagi semua pihak.

1. Salah-satu sebab "hancurnya" suara Ahok dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah disebabkan sifatnya yang sombong, takabur, arrogant. Lebih dari sikapnya yang tidak bisa mengontrol ucapan-ucapannya (atau justru sengaja membiarkan mulutnya liar) adalah sifatnya yang sombong, takabur, arrogant. Allah murka dengan orang seperti ini, maka "kehancuran" itu sudah bisa diprediksikan (diperkirakan) dan tinggal menunggu waktu. Allah SWT telah berfirman dalam sebuah hadits qudsi, sebagai berikut: "Sombong adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku, maka barangsiapa yang menentang-Ku akan salah-satunya niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka." (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Hurairah).

Dari hadits qudsi di atas dapat diambil sebuah pelajaran bahwa Allah murka dengan orang yang sombong, sebab sifat sombong itu berarti menentang Dzat satu-satunya yang berhak sombong, yaitu Allah SWT. Maka Allah akan menggiring orang-orang yang sombong itu ke arah kehancuran. Maka suara Ahok pun dikalahkan oleh lawannya dengan cukup telak (sekitar 16%), jika memakai istilah dalam olah raga tinju dia kalah KO. Sementara semua orang tahu pada awal Pilkada (putaran pertama) mereka sempat sesumbar bahwa mereka akan menang satu putaran dengan kata-katanya: "Pokoknya kita menang satu putaran". Dan pada akhirnya semua orang juga tahu, jangankan menang satu putaran, pada putaran kedua pun mereka dikalahkan dengan telak alias KO (knock out).

2. Di balik pekerjaanya sebagai gubernur membangun Jakarta dia tampaknya menyimpan ambisi yang lebih besar, menjadi calon presiden atau paling tidak menjadi calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang akan datang. Dan dia punya cantolan politik, yaitu Presiden yang sewaktu beliau menjadi Gubernur DKI Jakarta Ahok menjadi wakilnya. Apalagi partai-partai pendukungnya di dalam Pilkada DKI tersebut partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, Nasdem, dan lain-lain yang semuanya partai pendukung pemerintah juga. Makin kuatlah peluangnya untuk menjadi calon presiden atau setidak-tidaknya menjadi calon wakil presiden mendatang.

Dia bungkus ambisinya yang besar tersebut dengan membangun citra dirinya sebagai gubernur yang anti-korupsi, kerja untuk rakyat, menyerang pihak sana-sini, mengeluarkan kata-kata yang menyulut kontroversi. Fenomena Ahok ini menjadi konsumsi wartawan/ media massa karena dianggap sebagai sumber berita yang menarik. Hal itu juga yang secara otomatis meningkatkan popularitasnya sebagai gubernur dan elektabilitasnya.

Pada poin ke-2 ini karena juga mempunyai ambisi menjadi calon presiden/ wakil presiden dia menghalalkan berbagai macam cara seperti tampak di dalam ucapan-ucapannya yang tak terkendali bahkan liar. Dan agar bisa sampai pada tujuan menjadi presiden/ wakil presiden pada 2019, maka dia harus berhasil menjadi gubernur terlebih dahulu dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Kasus pengutipan QS. Al-Maidah: 51 di Kepulauan Seribu yang kemudian menjadi kasus penistaan agama adalah salah-satu bukti ucapannya/ tindakannya yang menghalalkan berbagai macam cara untuk menjaga ambisinya yang besar pada Pilpres 2019 dengan berjuang mati-matian menjadi gubernur pada tahun 2017.

Jadi ada 2 hal yang perlu dicermati  di dalam  poin ke-2 ini: pertama, dia tidak jujur dengan ambisinya yang ingin menjadi calon presiden atau setidak-tidaknya menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2019 dengan membungkusnya di dalam bekerja untuk rakyat, juga gubernur yang dikenal anti-korupsi. Kedua, dia telah menghalalkan berbagai macam cara mewujudkan ambisinya itu, maka dia menabrak norma sopan-santun bahkan menabrak norma agama orang lain, yaitu Islam yang kemudian menjadi kasus penodaan agama dengan dampaknya yang sangat besar di masyarakat. Maka dia pun menerima akibatnya.

3. Ketika muncul Aksi Bela Islam 212 (2/12/2016) yang melibatkan 7 juta orang turun ke jalan (data dari Google), dengan pusatnya di Monas, Jakarta, menyusul adanya kasus penistaan agama (QS. Al-Maidah: 51) yang dilakukan Ahok, sesungguhnya pada hari itu terlihat ke-MahaBesaran Allah, ke-MahaKuasaan Allah. Mustahil ada pemimpin yang mampu menyatukan orang sampai berbilang 7 juta secara damai, tanpa ada huru-hara, tanpa ada kekacauan kalau bukan semua atas kehendak Allah. Allah hadir untuk menunjukkan Kebenarannya. Maka "kehancuran" suara Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta itu tinggal menunggu hitungan waktu.

Sudahkah Anda mendengar kisah-kisah yang menunjukkan ke-MahaBesaran dan ke-MahaKuasaan Allah di dalam Aksi Bela Islam 212? Al-Maidah artinya adalah hidangan, selama Aksi tersebut berlangsung banyak sekali tersedia berbagai macam makanan gratis dari banyak sekali donatur dan dermawan yang tak terhitung jumlahnya sehingga persediaan makanan berlebih untuk peserta Aksi yang luar biasa banyaknya itu.  Siapapun mereka yang menyediakan makanan (hidangan) Allah hendak menunjukkan kepada manusia bahwa Allah hadir di dalam Aksi 212 dan Dia hendak menunjukkan kebenaran ayat-ayat Kitab Suci-Nya.

Ada kisah lain, yaitu penjual makanan yang pakai gerobak ia menyedekahkan (memberikan secara gratis) dagangannya kepada peserta Aksi 212 dan bapak penjual makanan ini malah menerima uang jutaan rupiah dari orang-orang yang tidak dikenalnya, di mana dia tidak pernah pegang uang sampai jutaan rupiah sebelum Aksi 212 itu, selama dia berjualan makanan. Sampai dia tak kuasa meneteskan air mata... Kisah-kisah seperti itu banyak terjadi pada hari itu dan tidak hanya satu kisah.

Cerita yang lain, di mana ada jamaah shalat Jum'at di dalam Aksi Bela Islam 212 yang berpusat di Monas itu mencium bau harum semerbak yang kemudian ditanyakan kepada para jamaah yang lain, mereka juga mencium bau harum yang sama, kemudian coba dicari dari mana datangnya bau harum tersebut tetapi tidak ada jamaah shalat Jum'at yang tahu. Kejadian itu sungguh aneh tapi nyata di antara jamaah shalat Jum'at paling besar yang pernah ada.

Juga apakah anda sadar dengan jamaah 7 juta orang akan melaksanakan shalat Jum'at secara bersamaan, bagaimana mereka semua laki-laki dan perempuan akan bersuci, mengambil air wudlu, tak bisa dibayangkan sungguh betapa repotnya dan berapa banyaknya  kubik air yang dibutuhkan? Maha Besar Allah dan Maha Kuasa Allah, Allah Maha Tahu yang dibutuhkan jutaan jamaah tersebut dengan menurunkan hujan sehingga seluruh jamaah bisa bersuci, mengambil air wudlu. Allahu Akbar.

Dan lain-lain cerita yang tidak bisa ditulis semua di sini karena keterbatasan tempat. Yang penting untuk dikatakan adalah ketika agama-Nya dinistakan maka pasti Allah akan menunjukkan ke-MahaKuasaan-Nya dengan memberikan balasan kepada penistanya. Dengan adanya kisah-kisah yang luar biasa di dalam Aksi Bela Islam 212 itu sebenarnya sudah tergambar kekalahan telak Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.




4. Hal lain yang sedikit perlu diungkapkan, menyusul kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta itu, yaitu membuat kelompok Islam model "Jaringan Islam Liberal" beserta pendukung dan simpatisan-simpatisannya (yang beberapa oknumnya menjadi Tim Sukses Ahok) menjadi usang, menjadi kuno. Saya katakan mereka ini kelompok "sok rasionalis", " sok pluralis", "sok modern", "sok paling pendukung kebhinnekaan", bahkan "sok paling pendukung negara bangsa" dan akan cenderung menempatkan kelompok-kelompok Islam di luar sana sebagai "tidak rasional", "tidak pluralis", "tidak modern", "anti-kebhinnekaan", "tidak mengerti negara bangsa". Mereka mengklaim Islam model merekalah yang paling sesuai dengan realitas sosiologis bangsa Indonesia karena itu mereka dukung pemimpin non-muslim.

Padahal kenyataanya berbagai kelompok dan organisasi Islam yang turun dalam Aksi Bela Islam 212 bersikap demokratis, sangat toleran, sangat menghormati perbedaan agama, sangat menghargai perbedaan pendapat, dan sangat menjunjung tinggi kebhinnekaan sebagai realitas masyarakat Indonesia sebagai pemberian Allah SWT.

Mereka, orang-orang Islam yang turun di dalam Aksi Bela Islam 212 tidak menciptakan ketakutan kepada kepada kelompok agama lain, tidak ada kerusuhan bahkan yang paling kecil sekalipun, apalagi huru-hara, tidak ada itu. Bahkan semua orang tahu tidak ada satupun tanaman yang rusak di dalam Aksi 212 itu. Hal itu sekaligus jadi bukti bahwa para pemimpin dan peserta Aksi 212 mempunyai akhlak yang baik, santun, demokratis, tidak memaksakan kehendak, dan sangat menghormati hukum. Jika bukan karena Islam yang toleran dan demokratis, maka dengan 7 juta orang berkumpul melakukan sebuah aksi besar sangat mungkin akan terjadi kerusuhan, huru-hura, mobil dibakar, bahkan mungkin ada korban di sana-sini baik korban luka-luka maupun meninggal dunia. Kenyataannya bicara lain, semuanya berlangsung dengan tertib dan damai dari awal sampai akhir.

Maka, sekali lagi, kekalahan telak Ahok itu membuat kelompok model "Jaringan Islam Liberal" beserta pendukung dan simpatisan-simpatisannya menjadi usang dan kuno. Mereka ini kelompok yang ikut mendukung Ahok karena yakin Ahok akan menang. Kelompok ini di antaranya yang tidak suka, misalnya Prof. Dr. M. Amien Rais, dan tokoh-tokoh yang lain ikut dalam Aksi Bela Islam 212. Padahal siapa yang meragukan kepakaran Amien Rais di bidang ilmu sosial dan ilmu politik di mana gelar guru besarnya diperoleh dari ilmu tersebut? Dia bahkan mungkin lebih paham kondisi sosiologis masyarakat dan bangsa Indonesia. Jika beliau ikut turun di dalam Aksi Bela Islam 212 tentu tidak bisa dikatakan langkah beliau tidak sesuai dengan semangat kebhinnekaan. Beliau turun ke jalan itu sebagaimana para peserta kebanyakan, yaitu karena rasa keberagamaannya ada yang secara serampangan mengusiknya.

Dan, jika kemudian lawan Ahok yang menang (yaitu Anies-Sandi), bukan berarti mereka yang anti-kebhinnekaan yang menang. Betapa piciknya jalan pikiran mereka, yang untuk kepentingan politik sesaat, mendikotomikan bahkan membenturkan antara konsep kebhinnekaan dan anti-kebhinnekaan, sementara kebhinnekaan itu secara sangat jelas sangat sesuai dengan ajaran Islam.

Demikian, semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari Pilkada DKI Jakarta 2017.

Comments